Kepala BKKBN: Perlu Perhatian dan Penanganan Khusus Terhadap Peningkatan Mental Emotional Disorder di Indonesia

JAKARTA---Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr. (H.C.) dr. Hasto Wardoyo, Sp. OG (K) menyatakan perlunya perhatian dan penanganan khusus terhadap meningkatnya kasus mental emotional disorder atau gangguan kejiwaan di Indonesia saat ini. 

Dalam arahannya pada Roadshow Program Bangga Kencana (Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana) dan Percepatan Penurunan Stunting bersama Mitra BKKBN di Provinsi Jawa Tengah, Kamis (14/12/2023), dr. Hasto menyebutkan bahwa penderita mental emotional disorder di Indonesia terus meningkat signifikan.

"Hari ini kita bicara tentang gizi, nutrisi, tentang stunting, dan trendnya (stunting) di Indonesia mengalami penurunan. Akan tetapi ingat bahwa mental-emotional disorder_ mengalami peningkatan. Tahun 2013 yang namanya mental emotional disorder baru 6 persen.Tetapi di tahun 2018 sudah 9.8 persen sehingga banyak sekali anak-anak yang mentalnya tidak bagus,” kata dr. Hasto.

Karena itu dr. Hasto menyatakan saat ini perlu perhatian khusus terhadap penanganan mental emotional disorder.

“Betapa sedih ketika banyak juga yang tidak stunting tetapi error (mental emotional disorder) , ini orang-orang yang setengah coupling, diajak koordinasi juga susah. Jumlahnya terus bertambah. Ini adalah kelompok yang sangat penting untuk diperhatikan, karena sekali lagi, ini juga jadi penentu kesuksesan pembangunan manusia Indonesia secara keseluruhan," ujar dr. Hasto.

Badan Kesehatan Dunia atau WHO menyebutkan, gangguan emosi mental adalah gangguan keseimbangan pribadi secara klinis, gangguan pengaturan emosi dan perilaku. Hal tersebut biasanya dikaitkan dengan adanya tekanan kepribadian. WHO juga menyatakan pada 2019, satu dari delapan orang atau 970 juta orang di seluruh dunia mengalami mental disorder.

Dalam arahannya, dr. Hasto juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap meningkatnya kasus gangguan jiwa berat. "Gangguan jiwa berat sekarang angkanya sudah 7 per 1.000. Jadi kalau misalkan penduduknya ada 1000 maka yang ngomong sendiri sudah 7 orang. Kalau penduduknya 100 ribu maka sudah 700. Jadi kalau di kabupaten penduduknya 500 ribu, yang ngomong sendiri (gangguan jiwa berat) itu sudah 3.500. Tetapi tidak terpikirkan sama sekali ada dokter jiwa, ada psikolog di puskesmas, atau ada bangsal jiwa, tidak kepikiran sama sekali. Karena itu sangat penting untuk kita memberi perhatian dan penanganan khusus terhadap kasus-kasus kejiwaan ini,” ajak dr. Hasto.

Selain mental emotional disorder dan gangguan kejiwaan, dr. Hasto juga mengajak untuk memberi perhatian dan penanganan khusus terhadap sumber daya manusia yang mengalami disabilitas dan difabel. Difabel adalah menjadi penentu juga kesuksesan pembangunan suatu bangsa. Memajukan SDM yang difabel, kemudian dia bisa melahirkan generasi yang hebat.

"Melalui forum ini, teruslah kita perhatikan dan harapan saya tidak hanya dari tunanetra, tapi mungkin juga dari disabilitas yang lainnya, kemudian dari, ada juga loh kelompok-kelompok yang perlu diperhatikan, ada kelompok namanya bihom, kelompok bihom itu kelompok broken home, mereka yang orangtuanya cerai gitu ya, jadi sekarang kan perceraian tinggi sekali, sehingga hal ini menjadi kelompok khusus juga, tapi itu tidak kelihatan, sehingga kadang-kadang kepala daerah atau pemegang kebijakan tidak memikirkan itu. Kita doakan anak-anaknya mereka ini juga sehat, tidak stunting, dan kemudian justru berkualitas hebat, maka kita akan sukses," ujar dr. Hasto.

Sementara itu Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemprov Jawa Tengah Dra. Ema Rachmawati, M.Hum mengatakan perlu adanya keterlibatan seluruh pihak untuk Percepatan Penurunan Stunting. 

"Sebuah negara dikatakan bebas stunting jika anak-anak yang stunting itu kurang dari 20% se-Indonesia. Persoalannya Indonesia itu masih sekitar 21% dan di Jawa Tengah itu 20,8%. Jadi kita masih punya PR targetnya tahun 2024 itu harus mencapai 14%, jadi harus mengurangi 6%. Ini kan bukan hal yang mudah jadi PR kita bersama adalah Jawa Tengah masih 20,8. Bahkan untuk di area Jawa, Provinsi di area Pulau Jawa itu kita masih yang paling tinggi. Jadi kalau Jawa Barat 20,2 persen, Jawa Timur 19,6 persen, dan DIY sudah lebih di bawah kita. Untuk itu kita bersama-sama belajar tentang apa itu stunting, bagaimana stunting dan apa dampaknya stunting bagi negara Indonesia, serta keterlibatan seluruh pihak", kata Ema.

Ada beberapa hal yang disebutkan Ema untuk mencegah stunting, perlunya adanya pencegahan di masa 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), diantaranya; pengecekan kesehatan untuk calon ibu yang harus memiliki lingkar lengan 23,5 cm, tidak anemia, makan makanan bergizi seimbang, ibu menyusui ASI eksklusif 6 bulan tanpa dicampur dengan yang lain dilanjutkan sampai dengan usia anak 2 tahun, dan ketersedian air bersih dalam kehidupan sehari-hari.

Penulis : Tri Wulandari Henny Astuti

Editor: Kristianto

Source: BKKBN 


Posting Komentar

0 Komentar